Minggu, 14 April 2013

KETENANGAN JIWA



KETENANGAN JIWA

Suka dan duka
Yang selalu menemani diri
Kadang datang bersamaan
Kadang datang beriringan

Walau pernah diajarkan
Mulailah dengan Bismillah
Berjalanlah dengan Alhamdulillah
Kadangkala  kedua kata lupa mengucapkannya
Apalagi disaat situasi baik-baik saja
Disaat musibah menimpa
Kesedihan yang mendalam
Terasa bagaikan azab di dunia
Mana mungkin mampu membaca Alhamdulillah

Ketenangan jiwa
Tulisan yang kutemukan
Telah membuka wawasanku
Bagaimana caranya
Membuat jiwa jadi tenang
Semoga Allah berkenan menolong
Lahaula wala quwwata illa billah


Padang, 12 April 2013


Hanifah Damanhuri


Sabtu, 19 Mei 2012
KETENANGAN JIWA

1.      Pengertian Jiwa
Secara bahasa jiwa berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, nyawa atau alat untuk berfikir. [1] Sedang dalam bahasa Arab sering disebut dengan “an nafs”. [2] Imam Ghazali mengatakan bahwa jiwa adalah manusia-manusia dengan hakikat kejiwaannya. Itulah pribadi dan zat kejiwaannya. [3] Sedangkan menurut para filosof pengikut plotinus (para filosof Yunani), sebagaimana yang dikutip oleh Abbas Mahmud Al Aqqad dalam Manusia Diungkap Dalam Al Qur’an, bahwa jiwa menurut mereka adalah sinonim dengan gerak hidup / kekuatan yang membuat anggota-anggota badan menjadi hidup yakni kekuatan yang berlainan fisik material, dapat tumbuh beranak, dan berkembangbiak tingkat kemauannya lebih besar dari pada benda tanpa nyawa dan lebih kecil daripada roh, jiwa tidak dapat dipindah dari tempat ia berada. [4]
Kemudian dilihat dari kacamata psikologi, menurut Wasty Soemanto, jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku manusia, jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong tingkah laku.  Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka berfungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang nampak. [5]
Dari sejumlah pemaparan di atas dapat diambil pemahaman bahwa jiwa adalah merupakan unsur kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang berfungsi sebagai penggerak manusia dan menjadi simbol kesempurnaan  manusia.  Karena manusia yang tidak memiliki jiwa tidak dapat dikatakan manusia yang sempurna.
 Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong pada tingkah laku yang tampak. Karena cara-cara kerja jiwa hanya dapat di amati  melalui  tingkah laku  yang nyata.   Adapun pengertian jiwa di sini meliputi  seluruh aspek  rohani  yang di miliki  oleh  manusia, antara lain ; hati, akal, pikiran dan perasaan.

2.      Pengertian Ketenangan Jiwa
Kata ketenangan jiwa terdiri dari kata ketenangan dan jiwa. Sedangkan kata ketenangan itu sendiri berasal dari kata tenang yang mendapat sufiks ke-an. Tenang berarti diam tak berubah-ubah (diam tak bergerak-gerak); tidak gelisah, tidak rusuh, tidak kacau, tidak ribut, aman dan tenteram (tentang perasaan hati, keadaan dan sebagainya). Tenang, ketenteraman hati, batin, pikiran. [6] 
Sedangkan jiwa adalah seluruh kehidupan batin manusia yang menjadi unsur kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang berfungsi sebagai penggerak manusia dan menjadi simbol kesempurnaan manusia (yang terjadi dari hati, perasaan, pikiran dan angan-angan). Kata ketenangan jiwa juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri, dengan orang lain, masyarakat dan lingkungan serta dengan lingkungan di mana ia hidup. Sehingga orang dapat menguasai faktor dalam hidupnya dan menghindarkan tekanan-tekanan perasaan yang membawa kepada frustasi. [7]
Jadi ketenangan jiwa atau kesehatan mental adalah kesehatan jiwa, kesejahteraan jiwa, atau kesehatan mental. Karena orang yang jiwanya tenang, tenteram berarti orang tersebut mengalami keseimbangan di dalam fungsi-fungsi jiwanya atau orang yang tidak mengalami gangguan kejiwaan sedikitpun sehingga dapat berfikir positif, bijak dalam menyikapi masalah, mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi serta mampu merasakan kebahagiaan hidup. 
Hal tersebut sesuai dengan pandangan Zakiah Daradjat bahwa kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara faktor jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. [8]
Kartini Kartono mengatakan, bahwa mental hygiene memiliki tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, ketakutan serta konflik. [9] 
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya atau tenang jiwanya adalah orang yang memiliki keseimbangan dan keharmonisan di dalam fungsi-fungsi jiwanya, memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik, dapat menerima sekaligus menghadapi realita yang ada, mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian serta dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan lingkungannya.
Jadi orang yang tenang jiwanya adalah orang yang fungsi-fungsi jiwanya dapat berjalan secara harmonis dan serasi sehingga mumunculkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik, sebab kepribadian yang terintegrasi dengan baik dapat dengan mudah memulihkan macam-macam ketegangan dan konflik-konflik batin secara spontan dan otomatis, dan mengatur pemecahannya menurut prioritas dan herarkinya, sehingga dengan mudah akan mendapat kan keseimbangan batin, dan jiwanya ada dalam keadaan tenang seimbang.

3.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa
Semua orang ingin menjalani kehidupannya dengan penuh kebahagiaan dan ketenangan lahir dan batin. Adapun jiwa yang tenang,  sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an surat AL-Fajr ayat 27-28:
يآيُّهَاالنَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ.لا ارْجِعِىْ اِلىَ رَبِّكَ رَاضِيَّةً مَّرْضِيَّةً.ج {الفجر: 27-28}
Hai jiwa yang tenang kembalilah Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. [10] (QS. al-Fajr: 27-28)
  
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa manusia yang memiliki jiwa yang tenang akan mendapatkan kebahagiaan di sisi Allah SWT., dan akan  dimasukkan  ke dalam  surga-Nya,  dengan  demikian  segala  yang  dilakukannya hanya semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT., serta  apa yang dilakukannya dipikir dahulu, apakah sudah sesuai dengan perintah Allah SWT atau tidak, sehingga semua perbuatannya akan bermanfaat karena disandarkan dengan niat untuk mencari ridha Allah SWT semata.  Ia lebih menginginkan hal-hal yang bersifat rohaniah, yang bisa mengisi jiwanya dan tidak cenderung mengejar kelezatan duniawi yang bersifat jasmaniah. Orang semacam ini jika dikaruniai kekayaan, tidak mengambil selain apa yang menjadi haknya sendiri, dan apabila ditimpakan kepadanya musibah bersabar serta bertawakkal kepada Allah SWT. 
Menurut imam Ghazali jiwa yang tenang ialah jiwa yang diwarnai dengan sifat-sifat yang menyebabkan selamat dan bahagia. Di antaranya adalah sifat-sifat syukur, sabar, takut siksa, cinta Tuhan, rela akan hukum Tuhan, mengharapkan pahala dan memperhitungkan amal perbuatan dirinya selama hidup, dan lain-lain. Sifat-sifat yang menyebabkan selamat. [11]
Menurut Zakiah Daradjat dan Kartini Kartono ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketenangan jiwa di mana orang yang ingin mencapai ketenangan jiwa harus memenuhi beberapa faktor tersebut antara lain:
a.       Faktor agama
Agama adalah kebutuhan jiwa (psikis) manusia, yang akan mengatur dan mengendalikan sikap, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap masalah. [12]
Demikian juga dalam agama ada larngan yang harus dijauhi, karena di dalam nya terdapat dampak negatif dari kehidupan manusia. Orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara benar, di dalam hatinya tidak akan diliputi rasa takut dan gelisah. Ia merasa yakin bahwa keimanan dan ketaqwaannya itu aklan membawa kelegaan dan ketenangan batinnya. Firman Allah SWT:
الَّذِيْنَ امَنُوْا وَعَمِلُوا الصّلِحتِ طُوْبى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ. {الرّعد: 29}
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. [13] (QS. ar-Ra’d: 29)
Pelaksanaan agama (ibadah) dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi orang dari rasa gelisah dan takut. Diantara dari berbagai macam ibadah yanng ada yaitu shalat secara psikologis semakin banyak shalat dan menggantungkan harapan kepada Allah SWT maka akan tenteramlah hati, karena dalam shalat itu sendiri mengandung psiko-religius (kekuatan rohaniah) yang dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme sehingga memiliki semangat untuk masa depan. Daripada itu tujuan utama dari shalat adalah ingin beraudiensi, mendekatkan diri dengan Allah supaya terciptalah kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.
b.      Terpenuhinya Kebutuhan Manusia
Ketenangan dalam hati dapat dirasakan apabila kebutuhan-kebutuhan manusia baik yang bersifat fisik maupun psikis terpenuhi. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan mengakibatkan kegelisahan dalam jiwa yang akan berdampak pada terganggunya ketenangan hidup.
Menurut Katini Kartono kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi oleh manusia adalah:
1)      Terpenuhinya kebutuhan pokok, hal ini karena setiap manusia pasti memiliki dorongan-dorongan akan kebutuhan pokok. Dorongan-dorongan akan kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan, sehingga jiwa menjadi tenangdan akan menurunkan ketegangan-ketegangan jiwa jika kebutuhan tersebut terpenuhi.
2)      Tercapainya kepuasan , setiap orang pasti menginginkan kepuasan, baik yang berupa jasmaniah maupun yang bersifat psikis, seperti kenyang, aman terlindungi,  ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang.
3)      Posisi status sosial, setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman, berani optimis, percaya diri. [14]
Menurut Zakiah Daradjat ada enam kebutuhan jiwa di mana jika tidak terpenuhi akan mengalami ketegangan jiwa. Kebutuhan jiwa tersebut adalah:
1)      Rasa kasih sayang
2)      Rasa aman
3)      Rasa harga diri
4)      Rasa bebas
5)      Rasa sukses
6)      Rasa ingin tahu. [15]
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1)      Rasa kasih sayang
Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang penting bagi manusia oleh karenanya apabila rasa kasih sayang itu tidak didapatnya dari orang-orang disekelilingnya maka akan berdampak pada keguncangan jiwanya. Tetapi bagi orang yang percaya kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang maka kehilangan kasih sayang dari manusia tidak menjadikan jiwa gersang.
2)      Rasa Aman
Rasa aman juga kebutuhan jiwa yang tidak kalah pentingnya. Orang yang terancam, baik jiwanya, hartanya, kedudukannya ia akan gelisah yang berujung pada stres. Apabila ia dekat dengan Allah SWT tentu rasa aman akan selalu melindungi dirinya.
3)      Rasa harga diri
Rasa harga diri juga merupakan kebutuhan jiwa manusia, yang jika tidak terpenuhi akan berakibat penderitan. Banyak orang merasa diremehkan, dilecehkan dan tidak dihargai dalam masyarakat terutama dalam hal harta, pangkat keturunan, dan lain sebagainya itu tentu perlu dipenuhi. Namun sebenarnya hakekat itu terletak pada iman dan amal soleh seseorang
4)      Rasa bebas
Rasa ingin bebas termasuk kebutuhan jiwa yang pokok pula. Setiap orang ingin mengungkapkan perasaannya dengan cara yang dirasa menyenangkan bagi dirinya. Namun semua itu tentunya ada batas dan aturan yang harus diikutinya agar orang lain tidak terganggu haknya. Kebebasan yang sungguh-sungguh hanya terdapat dalam hubungan kita dengan Allah SWT
5)      Rasa sukses
Rasa sukses yang merupakan salah satu kebutuhan jiwa. Kegagalan akan membawa kekecewaan bahkan menghilangkan kepercayaan seseorang kepada dirinya. Islam mengajarkan agar orang tidak putus asa. Tidak tercapainya suatu keinginan belum tentu berarti tidak baik. Bahkan kegagalan itu akan lebih baik kalau manusia mengetahui sebab serta dapat mengambil hikmah dari kegagalan itu.
6)      Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu juga termasuk kebutuhan jiwa yang pokok yang jika terpenuhi akan berdampak pada tingkah laku. Orang akan merasa sengsara apabila tidak mendapatkan informasi atas ilmu yang dicarinya. Namun tidak semua ilmu itu dapat diketahuinya karena keterbatasan yang ada pada dirinya.


________________________________________
di 3:25 AM  Label: jiwa, ketenangan jiwa, Tasawuf
Link ke posting ini
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
January 26, 2010
T A K A B U R
Sifat kekaguman dan membangga-banggakan diri dapat menimbulkan kesombongan dan keangkuhan terhadap orang lain.
Sifat ini adalah salah satu penyakit hati yang sangat mencelakakan dan sulit dihindari. Dalam al-Qur’an sudah tertera larangan dan ancaman serta bahaya yang akan ditimbulkan dari sifat takabur ini.
Jika seseorang sudah melekat pada sifat ini, maka segeralah mungkin untuk mengobatinya dan menghindarinya, karena sifat ini sangat merugikan diri sendiri maupun orang lain serta merugikan di dunia dan di akhirat.
1. Pengertian Takabur
Takabur yang biasa diartikan dengan “kesombongan”, berarti sifat dan sikap merendahkan orang lain dan bisa menolak al-haqq (kebenaran).
Takabur juga berupa rasa kekaguman terhadap diri, sikap suka membesar-besarkan dan menonjolkan diri. Takabur ini sendiri dicela oleh al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman: 18)
Kekaguman terhadap diri bisa berakibat timbulnya sikap sombong dan angkuh terhadap orang lain, dan merendahkan serta meremehkan mereka dalam pergaulan. Dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mencela ketakaburan orang-orang musyrik dan munafik serta keengganan mereka untuk menerima kebenaran, karena rasa angkuh yang mereka miliki.
2. Hakikat Takabur
Sifat sombong dapat dikatakan perangai di dalam jiwa yang menunjukkan kepuasan, kesenangan dan kecenderungan kepada tingkatan (martabat) di atas orang lain yang dibohongi. Jadi, selain menyangkut orang pertama, (yang menyombongkan diri), sifat ini juga melibatkan orang kedua (yang dibohongi). Disinilah letak perbedaannya dengan sifat ujub yang tidak memerlukan orang lain sebagai objek. Bahkan, andaikata di dunia ini tidak ada orang, kecuali orang satu saja, kita dapat membayangkan bahwa ia sangat mungkin bersifat ujub. Tetapi, tidak demikian dengan sifat sombong. Kita tidak mungkin membayangkan terjadinya kesombongan tanpa keberadaan orang lain. Jadi, hakikat kesombongan itu baru terwujud bila seseorang mendapat tiga keyakinan di dalam dirinya, yaitu:
a. Ia melihat dirinya memiliki martabat
b. Ia melihat pada diri orang lain juga memiliki martabat
c. Bila ia menganggap martabatnya lebih tinggi dari pada orang lain.
Apabila tiga keyakinan di atas terdapat pada diri seseorang, berarti di dalam dirinya, telah tertanam sifat sombong. Hatinya akan menjadi takabur. Karena hal itulah, dihatinya timbul rasa gengsi, rasa berwibawa, juga kesenangan dan kecenderungan kepada yang diyakininya sebagai sesuatu yang besar. Kewibawaan, perasaan besar, kecenderungan kepada hal yang diyakini itulah perangai sifat sombong.
3. Sebab-sebab dan Macam-macam Takabur
Sebab-sebab yang menjadikan seseorang berlaku sombong (takabur) adalah merasa adanya kelebihan pada dirinya. Seperti ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, keturunan orang terhormat, harta kekayaan, kekuatan fisik, kedudukan, kecantikan, ketampanan dan sebagainya.
Dalam realitasnya, takabur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Takabur kepada Allah, seperti Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan. Takabur ini yang terjelek
b. Takabur kepada Rasul-Nya, seperti orang-orang Quraisy.
c. Takabur kepada sesamanya.
4. Hal-hal yang Membangkitkan Takabur
Ada empat hal yang dapat membangkitkan sifat takabur, diantaranya:
a. Sifat ujub
Sifat ini mewariskan keangkuhan di dalam diri yang setiap saat bisa muncul ke permukaan berupa kesombongan lahir dalam bentuk tindakan dan perilaku.
b. Sifat dendam (hiqd)
Terkadang yang menyebabkan kesombongan itu bukanlah sifat ujub, misalnya: orang yang menyombongkan dirinya atas orang yang menganggap dirinya sederajat dengannya atau malah melebihinya. Sering pula terjadi seseorang marah-marah karena persoalan lama yang membekaskan dendam di hatinya.
c. Sifat hasad (dengki)
Sifat ini melahirkan kebencian terhadap orang yang didengkinya meskipun penyebab yang menimbulkan marah dan dendamnya bukan berasal dari orang itu. Sifat hasad ini yang bercokol di dalam diri mendorong untuk senantiasa bersikap angkuh terhadap orang lain.
d. Sifat riya’
Sifat ini biasanya dapat menarik seseorang berperilaku sombong, sehingga terkadang terjadi perdebatan dengan orang lain. Sifat sombong yang dibangkitkan oleh riya’ ini hanya muncul berada di hadapan orang banyak.
5. Cara Mengatasi dan Melenyapkan Takabur
Takabur termasuk di antara sifat-sifat yang sangat mencelakakan dan sulit untuk dihindari. Hukum pemberantasannya adalah fardhu ‘ain bagi setiap individu.
Ada dua cara untuk memberantas sifat ini, yaitu:
a. Dengan mencabut batang pohonnya sampai ke akarnya yang menancap di hati.
Maksudnya: usaha ini tidak mungkin berhasil dengan sempurna kecuali dengan mengintensifkan ketakwaan untuk melenyapkan komponen dasarnya, dengan menempuh dua langkah, yaitu langkah ilmiah dan langkah amaliah.
1) Langkah ilmiah adalah dengan cara mengenali diri sendiri dengan kehinaannya, serta mengenali Tuhan dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Pada dasarnya dengan cara ini sudah cukup bagi seseorang untuk menghilangkan sifat takabur pada dirinya.
2) Langkah amaliah adalah merupakan bentuk praktis dalam menanggulangi sifat sombong, yakni tawadhu’ kepada Allah melalui amal perbuatan dan kepada semua makhluk-Nya dengan senantiasa berperilaku sebagaimana lazimnya orang-orang yang suka merendahkan diri.
b. Menangkal faktor penyebab yang menjadikan seseorang berlaku sombong atas orang lain.
Cara yang kedua ini dilakukan dengan cara memotong jalur tujuh sebab sombong, diantaranya:
1) Sombong karena keturunan, cara mengatasinya ada 2 cara;
a) Karena yang dibanggakan orang ini adalah orang lain dan kesempurnaannya, ada yang mengatakan bahwa orang seperti ini dianjurkan supaya berpaling kepada dirinya sendiri.
b) Menyadari bahwa orang tuanya hanya diciptakan dari air mani yang hina. Sedangkan asal mula keberadaan bangsanya adalah tercipta dari tanah.
2) Sombong karena kecantikan atau ketampanan, cara mengatasinya: dengan melihat kepada dirinya sendiri yakni kepada apa yang terkandung di dalam Tuhannya, bahwa hampir segala bagian terdapat kotoran.
3) Sombong karena kekuatan fisiknya, cara mengatasinya: menyadari bahwa dirinya selalu diintai oleh berbagai jenis penyakit dan dihantui oleh cacat.
4) Sombong karena ilmunya, cara mengatasinya: menyadari bahwa kesombongan ini hanya layak untuk Allah dan menyadari bahwa hujah Allah SWT.
5) Sombong karena harta kekayaan, cara mengatasinya: menyadari bahwa segala sesuatu yang dimiliki akan dilanda perubahan dan kehancuran.
6) Sombong karena banyak penggemar, cara mengatasinya: Menyadari bahwa semua itu merupakan kebodohan dan kekeliruan.
7) Sombong karena banyak amal dan ibadah, cara mengatasinya: memaksakan diri bersikap tawadhu’ terhadap semua makhluk sambil menyadari bahwa dibalik sifat sombong terpendam bahaya yang besar.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa takabur adalah sifat yang sulit dihindari. Namun kita harus menyadari bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan tujuan tidak untuk menyombongkan diri di atas bumi melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Apapun yang kita lakukan di muka bumi ini semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Najati, M. Utsman, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pusaka, 1985.
Syukur, Amin, Pengantar Agama Islam, Semarang: CV. Bima Sejati, 2006.
Yahya, Imam, bin Hamzah, Kiat Mengendalikan Nafsu, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001.

http://zamdani.blogspot.com/2012/05/ketenangan-jiwa.html

Minggu, 07 April 2013

Menelusuri Jejak Buya Hamka Bersama Akmal Nasery Basral & Rita Desfitri



Menelusuri Jejak Buya Hamka Bersama Akmal Nasery Basral & Rita Desfitri

UBH 4 April 2013
Undangan bedah buku Tadarus Cinta Buya Pujangga
Karya Akmal Nasery Basral alias Mak Kusir
Dari Rita Desfitri yang mengagas acara
Dengan pembahas  Prof. Dr. Ir. Fachri Achmad
(Mantan Rektor UBH) /Ketua Yayasan UBH dan
Dr. Marsis, M.Pd (Dekan FKIP UBH)
Merupakan penghargaan tertinggi untukku
Dan tak mungkin kutolak
Alhamdulillah Allahpun memberikan kemudahan padaku
Sehingga walau cuaca kurang bersahabat
Aku berhasil hadir tepat waktu di ruangan

Kehadiranku untuk beberapa saat tak diketahui oleh Rita dan Akmal
Dengan santai aku bisa menyaksikan dan menyimak
Untaian kata sebagai Ketua pelaksana oleh Rita
Tanganku spontan bertepuk
Tatkala pantun-pantun yang indah
Keluar dari mulut Rita

Bapak Iqbal yang melihatku datang
Memintaku pindah duduk ke barisan depan
Namun aku merasa nyaman di barisan mahasiswa
Kulayangkan pandang ke kursi bagian depan
Melihat dari belakang mencari sosok Akmal
Tak mudah pula menebak orang yang belum pernah berjumpa
Akhirnya ku SMS “menolehlah kebelakang, lihat ortu di tengah mahasiswa”
Berdirilah seorang lelaki tampan yang celingukkan ke belakang
Disampingnya telah berdiri pula Rita yang menoleh padaku
Akupun akhirnya pindah tempat duduk

“Saya bukan orang Sastra, dan saya tak punya pisau bedah”
Kata Bapak Fachri merendah memperkenalkan diri
Dari pengamatanku
Hasi bedahnya sangat tajam
Kelihatan kalau beliau
Memakai pisau olah rasa dan olah fikir
Kurasa hasilnya lebih tajam
Dari kupasan Dekan yang memang ahli sastra
Kritik yang tujuannya membangun
Dapat ditangkis dengan indah oleh Akmal
Aku merasa beruntung bisa menyaksikan bedah buku tersebut
Pembedahnya seorang yang kaya ilmu tetapi rendah hati
Alhamdulillah terima kasih ya Allah atas kesempatan ini

Tadarus Cinta Buya Pujangga (TCBP)
Berisi tentang kisah Buya Hamka
Dari kecil sampai berumur 30 tahun
Ternyata Buya Kecil
Buya yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua
Sehingga otaknya yang cerdas
Sering mendorongnya berbuat sesuatu
Yang kadang merugikan dirinya sendiri
Maupun merugikan orang lain

Bagi orang tua yeng memiliki anak cerdas
Bertingkah seperti Buya Hamka kecil
Cepat-cepatlah membaca novel TCBP
Carilah strategi yang tepat untuk menghadapinya
Siapa tau sang anak kelak
Menjadi orang yang lebih hebat dari Buya Hamka

Usai bedah buku
Kami (Rita, Uni Evy, Akmal, Bapak Iqbal, Hanifah)
Berfoto sejenak, bukti hadir di acara
Ritapun mengajakku ikut ke Maninjau
Mengunjungi rumah Buya Hamka
Aku tak menolaknya sama sekali
Ikut bersama Dekan FKIP UBH dan beberapa mahasiswa
Mengawal Akmal pengarang TCBP
Bagaikan mimpi indah
Alhamdulillah

SIMAKA

Jalur yang ditempuh menuju Maninjau
Adalah jalur SIMAKA
“Rita sering lewat SIMAKA, menghindari macet”, kata Rita
Aku yang masih terbayang reruntuhan dengan jurang yang dalam
Sehingga lututku bergetar dan urung meneruskan perjalanan
Terpaksa diam dan ikut saja kemana dibawa
Begitu sampai di lokasi di sekitar Malalak
Yang membuat jantungku berdebar kencang dahulu itu
Sudah dipagari dengan seng
Sehingga tak terlihat lagi jurang yang sangat dalam
Jantungku aman dari debaran kencang

Maninjau

Kami sampai di rumah Buya Hamka bersamaan dengan azan Magrib
Kulayangkan pandang ke Danau Maninjau
Yang mampu menghentikan tangis Buya Hamka kecil
Danau yang sejak dari Ambun Pagi tampak sangat indah
Kami berhenti sejenak di salah satu kelok
Mengabadikan keindahan Danau Maninjau
Dikala senja dan malam haripun
Danau Maninjau memang indah dipandang mata
Kelap kelip lampu karamba dan rumah penduduk
Menghiasi pinggiran Danau Maninjau
Ingin rasanya berlama-lama menatapnya
Namun kami harus kembali ke Padang malam itu juga

Usai Sholat Magrib di rumah Rita rang Kukuban Maninjau
Mobil diambil alih Akmal yang terbiasa jadi Mak Kusir
Dengan kecepatan tinggi
Mobil melaju dengan kencang
Berhenti sejenak di Tiku untuk makan Sate Piaman
Sempat salah jalan di Pariaman
Kamipun selamat sampai di Padang pukul 11-san malam
Wajah cemas dan cemberut putriku
Menyambut kepulanganku
Alhamdulillah

Padang, 5 April 2013


Hanifah Damanhuri













Senin, 01 April 2013

SIA-SIA



SIA-SIA

Ketika menghadapi musibah
Banyak yang menyarankan agar  sabarlah dan ikhlaslah
Kata-kata sederhana yang mudah diucapkan
Namun tak mudah dalam pelaksanaannya
Kecuali atas izin Allah

Penasaran dengan kata ikhlas
Dan ingin tahu bagaimana sebenarnya melaksanakannya
Kucoba lacak dan bertanya pada Nyiak Gugel
Kutemukan satu tulisan yang sangat menarik
Akupun tersentak kaget dibuatnya

Sia-sia
Kalau sesuatu yang dikerjakan
Dikerjakan tanpa ikhlas
Huuhhhh masihkan ada waktuku
Untuk memperbaiki diri dan belajar  untuk  ikhlas ?

Pasti bisa
Kalau mau
Mumpung masih ada kesempatan
Kata ustadz mengingatkan
Lahaula wala quwwata illa billah

Padang, 30 Maret 2013


Hanifah Damanhuri


IKHLAS
Kehidupan yang Allah ciptakan tidak lebih sebenarnya untuk menguji siapakah diantara hamba-hamba-Nya yang paling banyak dan paling baik amalannya. Beramal adalah inti dari eksistensi (keberadaan) manusia di dunia, karena tanpa amal otomatis manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Sebagaimana di awal surah Al-Mulk ayat ke-2 Allah berfirman:
اَلَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَّهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ
Artinya:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Akan tetapi, realitanya tidak cukup beramal saja, karena Allah akan menghitung  segala amal yang kita lakukan dari niat dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia dan tidak berguna di hadapan Allah SWT. Dalam menafsirkan ayat diatas, Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan  tanpa keikhlasan, amalnya seseorang akan sia-sia tidak bernilai.
Secara bahasa, Ikhlas artinya membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi ataupun immateri). Adapun secara istilah[2] yaitu: membersihkan hati supaya menuju kepada Allah semata, dengan kata lain dalam beribadah hati tidak boleh menuju kepada selain Allah.
Dari definisi diatas, ikhlas merupakan kesucian hati dalam beribadah atau beramal untuk menuju kepada Allah. Ikhlas adalah suasana kewajiban yang mencerminkan motivasi bathin kearah beribadah kepada Allah dan kearah membersihkan hati dari kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak menuju kepada Allah. Dengan satu pengertian, ikhlas berarti ketulusan niat untuk berbuat hanya karena Allah.
Seseorang dikatakan memiliki sifat ikhlas apabila dalam melakukan perbuatan ia selalu didorong oleh niat untuk berbakti kepada Allah dan bentuk perbuatan itu sendiri dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya menurut hukum syariah. Sifat seperti ini senantiasa terwujud baik dalam dimensi fikiran ataupun perbuatan.
Rukun Ikhlas dalam beribadah terdiri dalam 2 bagian[3],yaitu:
1.     Hatinya hanya menuju kepada Allah, tiada tujuan kecuali hanya Allah saja.
2.     Secara zahirnya dalam beribadah mengikuti aturan qaidah fiqhiyah (sesuai dengan syariat Islam), bahwa tidak akan di terima amalnya seseorang apabila sesuatu yang ia amalkan telah menyalahi ajaran-Nya. Karena dalam sebuah hadith di sebutkan bahwa:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu bagus, dan tidak akan diterima kecuali amalan-amalan yang bagus”.
Seseorang dalam beramal, apabila tidak memenuhi ke-2 rukun diatas, sebaik apapun amalannya tetapi sesuatu yang ia amalkan itu tidak benar dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka Allah tidak akan menerima amalannya, seperti yang dikatakan oleh Para Ulama:
لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ خَالِصًا صَوَابًا
“Tidak akan diterima amalan seseorang melainkan ia-nya Ikhlas dan benar sesuai syari’ah”.
Lebih jauh, dalam prakteknya; sebuah amalan yang kita lakukan tidak dikatakan sempurna melainkan dengan dilandasi niat yang kuat, lisan kita melafazkan secara zahir, kemudian diikuti dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan syariat Islam. Sebagaimana Syeh Ahmad Rifai menguraikan dalam kitab Riayah Akhir[4], para ulama mengatakan:
وَالنِّيَّةُ وَالْقَوْلُ ثُمَّ الْعَمَلُ بِغَيْرِ وَفْقِ سُنَّةٍ لاَ تَكْمُلُ
Sejalan dengan isyarat Al-Quran surat Al-Bayyinah ayat 5, yaitu:
وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَالِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[5], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.
Demikian juga dijelaskan dalam awal ayat ke-36 pada surah An-Nisa’ :
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
Artinya:
“Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.
Untuk itu, supaya amalan kita diterima oleh Allah dan tidak sia-sia, alangkah lebih baiknya kita coba fahami sifat-sifat apa sajakah yang membedakan kita dalam melakukan ibadah, dengan satu tujuan supaya kita lebih jauh mengetahui kualitas seseorang dalam beramal sholih.
Sifat Ikhlas dibagi dalam 3 macam[6]:
1.     Ikhlas Awam, yaitu: Dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan rasa takut terhadap siksa Allah dan masih mengharapkan pahala.
2.     Ikhlas Khawas, yaitu: Beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan supaya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan sesuatu dari Allah SWT.
3.     Ikhlas Khawas al-Khawas adalah: Beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya.
Dari penjelasan diatas, ikhlas tingkatan yang pertama dan kedua masih mengandung unsur pamrih (mengharap) balasan dari Allah, sementara tingkatan yang ketiga adalah ikhlas yang benar-benar tulus dan murni karena tidak mengharapkan sesuatu apapun  dari Allah kecuali ridla-Nya, tingkatan ini hanya di miliki oleh orang-orang yang arif bi Allah.[7]
Imam Al-Ghazali mengatakan:
هَلَكَ النَّاسُ كُلُّهُمْ إِلاَّ الْعُلَمَاءْ , وَهَلَكَ الْعُلَمَاء كُلُّهُمْ إِلاَّ الْعَامِلِيْنَ ,
وَهَلَكَ الْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ إِلاَّ الْمُخْلِصِيْنَ , وَالْمُخْلِصُوْنَ عَلىَ خَطْرٍ عَظِيْمٍ
Artinya:
”Setiap manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal (dengan ilmunya), dan orang yang beramal juga binasa kecuali yang ikhlas (dalam amalnya). Akan tetapi, orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal.
Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia, seperti yang telah dijamin oleh Allah dalam firman-Nya[8]:
إِلاَّ عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِيْنَ (40) أُولَئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَّعْلُوْمٌ (41)
فَوَاكِهُ وَهُمْ مُّكْرَمُوْنَ (42) فِى جَنَّاتِ النَّعِيْمِ (43)
40. Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
41. Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu,
42.Yaitu buah-buahan. dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan,
43. Di dalam syurga-syurga yang penuh nikmat.
Ayat ini merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang mukhlis (Ikhlas). Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa kita temukan dalam kisah perjalanan Nabi Yusuf AS, ketika beliau berhadapan dengan seorang wanita yang mengajaknya melakukan maksiyat. Allah akan senantiasa memelihara hamba-Nya yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, seperti dalam Surah Yusuf ayat 24 dijelaskan:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَّءَ ا بُرْهَانَ رَبِّهِ , كَذَالِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ , إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata dia(Yusuf) tidak melihat tanda (Dari) Tuhan-Nya[9]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan terhindar dari godaan dan bujuk rayu syaitan. Syaitan sendiri dalam Surah Al-Hijr ayat 39-40 mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal dengan ikhlas:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِىْ لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ (39)
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ (40)
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis[10] di antara mereka”.
Dengan redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ (82) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ (83)
Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu  yang mukhlis di antara mereka.
Sungguh keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis beserta sekutunya. Semakin luas wilayah kerja (dakwah) seseorang, maka semakin diperlukan tingkat  keikhlasannya. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadang, yang pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna dalam Risalahnya, yaitu: Harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan serta pujian.
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menyatakan; keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang da’i yang harus selalu melekat dalam dirinya adalah ikhlas. Oleh karena itu, para ulama hadits menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar karya tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini. Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran ikhlas.Para nabi sendiri dalam kapasitasnya sebagai da’i, beliau selalu meletakkan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka.
Sebagai contohnya Nabi Muhammad SAW merupakan teladan utama, sebagaimana dalam surah Al-Furqan ayat 57 beliau mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah:
قُلْ مَا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شَاءَ أَنْ يَّتَّخِذَ إِلىَ رَبِّهِ سَبِيْلاُ
Artinya;
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan-Nya.
Masih dalam konteks yang sama dan dalam surah yang sama (Asy-Syu’araa’ mulai dari ayat 109, 127, 145, 164, 180),  secara berdampingan, seluruh nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib AS:
وَمَا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِىَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيِْنَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.
Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para nabi Allah SWT, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i sesudah mereka.
Rasulullah SAW bersabda tentang sifat yang mulia ini: “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, serta dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (HR.Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus pengendalinya amal sholih, lebih-lebih dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu semakin diperlukan keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih, bahkan ia yang paling utama.
Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami:
أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ الْقَلِيْلُ مِنْهُ
“Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.
Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang kita lakukan, seperti: adanya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan dan kesungguhan. Maka amalan yang cenderung apa adanya, ikut sesuka hati, asal jadi, serta amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inikah yang akan memperkuat potensi spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan motivasi yang menggerakkan roda amal kita selama ini ?
Ibnu Dahlan El-Madary