SIA-SIA
Ketika
menghadapi musibah
Banyak
yang menyarankan agar sabarlah dan
ikhlaslah
Kata-kata
sederhana yang mudah diucapkan
Namun
tak mudah dalam pelaksanaannya
Kecuali
atas izin Allah
Penasaran
dengan kata ikhlas
Dan
ingin tahu bagaimana sebenarnya melaksanakannya
Kucoba
lacak dan bertanya pada Nyiak Gugel
Kutemukan
satu tulisan yang sangat menarik
Akupun
tersentak kaget dibuatnya
Sia-sia
Kalau
sesuatu yang dikerjakan
Dikerjakan
tanpa ikhlas
Huuhhhh
masihkan ada waktuku
Untuk
memperbaiki diri dan belajar untuk ikhlas ?
Pasti
bisa
Kalau
mau
Mumpung
masih ada kesempatan
Kata
ustadz mengingatkan
Lahaula
wala quwwata illa billah
Padang,
30 Maret 2013
Hanifah
Damanhuri
IKHLAS
Kehidupan
yang Allah ciptakan tidak lebih sebenarnya untuk menguji siapakah diantara
hamba-hamba-Nya yang paling banyak dan paling baik amalannya. Beramal adalah
inti dari eksistensi (keberadaan) manusia di dunia,
karena tanpa amal otomatis manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya
dalam menegakkan khilafah sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi.
Sebagaimana di awal surah Al-Mulk ayat ke-2 Allah berfirman:
اَلَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَّهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ
Artinya:
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Akan
tetapi, realitanya tidak cukup beramal saja, karena Allah akan menghitung
segala amal yang kita lakukan dari niat dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas,
amal seseorang akan sia-sia dan tidak berguna di hadapan Allah SWT. Dalam
menafsirkan ayat diatas, Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan
tanpa keikhlasan, amalnya seseorang akan sia-sia tidak bernilai.
Secara
bahasa, Ikhlas artinya membersihkan (bersih, jernih, suci dari
campuran dan pencemaran, baik berupa materi ataupun immateri). Adapun secara istilah[2] yaitu: membersihkan hati
supaya menuju kepada Allah semata, dengan kata lain dalam beribadah hati tidak
boleh menuju kepada selain Allah.
Dari
definisi diatas, ikhlas merupakan kesucian hati dalam beribadah atau beramal
untuk menuju kepada Allah. Ikhlas adalah suasana kewajiban yang mencerminkan
motivasi bathin kearah beribadah kepada Allah dan kearah membersihkan hati dari
kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak menuju kepada Allah. Dengan
satu pengertian, ikhlas berarti ketulusan niat untuk
berbuat hanya karena Allah.
Seseorang
dikatakan memiliki sifat ikhlas apabila dalam melakukan perbuatan ia selalu
didorong oleh niat untuk berbakti kepada Allah dan bentuk perbuatan itu sendiri
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya menurut hukum syariah. Sifat seperti
ini senantiasa terwujud baik dalam dimensi fikiran ataupun perbuatan.
Rukun Ikhlas dalam beribadah terdiri dalam 2 bagian[3],yaitu:
1.
Hatinya hanya menuju kepada Allah, tiada tujuan kecuali hanya Allah saja.
2.
Secara zahirnya dalam beribadah mengikuti aturan qaidah fiqhiyah
(sesuai dengan syariat Islam), bahwa tidak akan di terima amalnya seseorang
apabila sesuatu yang ia amalkan telah menyalahi ajaran-Nya. Karena dalam sebuah
hadith di sebutkan bahwa:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya
Allah itu bagus, dan tidak akan diterima kecuali amalan-amalan yang bagus”.
Seseorang
dalam beramal, apabila tidak memenuhi ke-2 rukun diatas, sebaik apapun
amalannya tetapi sesuatu yang ia amalkan itu tidak benar dan tidak sesuai
dengan syariat Islam, maka Allah tidak akan menerima amalannya, seperti yang
dikatakan oleh Para Ulama:
لاَ يَقْبَلُ الْعَمَلَ إِلاَّ خَالِصًا صَوَابًا
“Tidak
akan diterima amalan seseorang melainkan ia-nya Ikhlas dan benar sesuai
syari’ah”.
Lebih
jauh, dalam prakteknya; sebuah amalan yang kita lakukan tidak dikatakan
sempurna melainkan dengan dilandasi niat yang kuat, lisan kita melafazkan
secara zahir, kemudian diikuti dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan
syariat Islam. Sebagaimana Syeh Ahmad Rifai menguraikan dalam kitab
Riayah Akhir[4], para ulama mengatakan:
وَالنِّيَّةُ وَالْقَوْلُ ثُمَّ الْعَمَلُ بِغَيْرِ وَفْقِ
سُنَّةٍ لاَ تَكْمُلُ
Sejalan
dengan isyarat Al-Quran surat Al-Bayyinah ayat 5, yaitu:
وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَالِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[5], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.
Demikian
juga dijelaskan dalam awal ayat ke-36 pada surah An-Nisa’ :
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
Artinya:
“Sembahlah
Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.
Untuk
itu, supaya amalan kita diterima oleh Allah dan tidak sia-sia, alangkah lebih
baiknya kita coba fahami sifat-sifat apa sajakah yang membedakan kita dalam
melakukan ibadah, dengan satu tujuan supaya kita lebih jauh mengetahui kualitas
seseorang dalam beramal sholih.
Sifat Ikhlas dibagi dalam 3 macam[6]:
1.
Ikhlas Awam, yaitu: Dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi
perasaan rasa takut terhadap siksa Allah dan masih mengharapkan pahala.
2.
Ikhlas Khawas, yaitu: Beribadah kepada Allah karena didorong dengan
harapan supaya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya
kelak ia mendapatkan sesuatu dari Allah SWT.
3.
Ikhlas Khawas al-Khawas adalah: Beribadah kepada Allah karena atas
kesadaran yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan
hanya Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya.
Dari
penjelasan diatas, ikhlas tingkatan yang pertama dan kedua masih mengandung
unsur pamrih (mengharap) balasan dari Allah, sementara tingkatan yang
ketiga adalah ikhlas yang benar-benar tulus dan murni karena tidak mengharapkan
sesuatu apapun dari Allah kecuali ridla-Nya, tingkatan ini hanya di
miliki oleh orang-orang yang arif bi Allah.[7]
Imam
Al-Ghazali mengatakan:
هَلَكَ النَّاسُ كُلُّهُمْ إِلاَّ الْعُلَمَاءْ , وَهَلَكَ
الْعُلَمَاء كُلُّهُمْ إِلاَّ الْعَامِلِيْنَ ,
وَهَلَكَ الْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ إِلاَّ الْمُخْلِصِيْنَ ,
وَالْمُخْلِصُوْنَ عَلىَ خَطْرٍ عَظِيْمٍ
Artinya:
”Setiap
manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu akan
binasa kecuali yang beramal (dengan ilmunya), dan orang yang beramal
juga binasa kecuali yang ikhlas (dalam amalnya). Akan tetapi, orang yang
ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal.
Dalam
hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan
keberkahan yang sangat besar, karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang
akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang
penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu
ketika di dunia, seperti yang telah dijamin oleh Allah dalam firman-Nya[8]:
إِلاَّ عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِيْنَ (40) أُولَئِكَ لَهُمْ
رِزْقٌ مَّعْلُوْمٌ (41)
فَوَاكِهُ وَهُمْ مُّكْرَمُوْنَ (42) فِى جَنَّاتِ النَّعِيْمِ
(43)
40.
Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
41.
Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu,
42.Yaitu
buah-buahan. dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan,
Ayat
ini merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah SWT bagi
orang-orang yang mukhlis (Ikhlas). Jaminan lain yang Allah
sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa kita temukan dalam kisah
perjalanan Nabi Yusuf AS, ketika beliau berhadapan dengan seorang wanita
yang mengajaknya melakukan maksiyat. Allah akan senantiasa memelihara hamba-Nya
yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, seperti dalam Surah Yusuf ayat 24
dijelaskan:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَّءَ ا
بُرْهَانَ رَبِّهِ , كَذَالِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ ,
إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan
Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata
dia(Yusuf) tidak melihat tanda (Dari) Tuhan-Nya[9].
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Dalam
ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan terhindar dari
godaan dan bujuk rayu syaitan. Syaitan sendiri dalam Surah Al-Hijr ayat 39-40
mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang
beramal dengan ikhlas:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِىْ لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى
الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ (39)
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ (40)
Iblis
berkata: “Ya Tuhanku,
oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan
mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis[10]
di antara mereka”.
Dengan
redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ (82)
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ (83)
Iblis
menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.
Sungguh
keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun
bentuk rayuan dan fitnah iblis beserta sekutunya. Semakin luas wilayah kerja (dakwah)
seseorang, maka semakin diperlukan tingkat keikhlasannya. Apalagi di
tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadang, yang
pada umumnya seperti yang dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna dalam
Risalahnya, yaitu: Harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di
depan dan diberi penghargaan serta pujian.
Jika
keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka Dr. Ali Abdul
Halim Mahmud menyatakan; keikhlasan bagi seorang da’i
merupakan keniscayaan yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan
berhadapan dengan berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan
dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang
mendasar bagi seorang da’i yang harus selalu melekat dalam dirinya adalah
ikhlas. Oleh karena itu, para ulama hadits
menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar karya
tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini.
Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan
kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran
ikhlas.
Para nabi sendiri dalam kapasitasnya
sebagai da’i, beliau selalu meletakkan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip
dakwah mereka.
Sebagai
contohnya Nabi Muhammad SAW merupakan teladan utama, sebagaimana dalam surah
Al-Furqan ayat 57 beliau mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah:
قُلْ مَا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شَاءَ
أَنْ يَّتَّخِذَ إِلىَ رَبِّهِ سَبِيْلاُ
Artinya;
Katakanlah:
“Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu,
melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan
kepada Tuhan-Nya.
Masih
dalam konteks yang sama dan dalam surah yang sama (Asy-Syu’araa’ mulai dari
ayat 109, 127, 145, 164, 180), secara berdampingan, seluruh nabi Allah
menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari nabi
Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib AS:
وَمَا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِىَ إِلاَّ
عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيِْنَ
“Dan
aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; Upahku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.
Inilah
bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para
nabi Allah SWT, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh
Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i sesudah mereka.
Rasulullah
SAW bersabda tentang sifat yang mulia ini: “Barangsiapa yang tujuan utamanya
meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam
kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan
datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang
tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya
berada di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, serta
dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah
ditakdirkan untuknya“. (HR.Tirmidzi).
Dalam
apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus
pengendalinya amal sholih, lebih-lebih dakwah sebagai puncak dari amal sholih.
Karena semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu semakin diperlukan
keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka
semestinya semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga
merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih, bahkan
ia yang paling utama.
Untuk
itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang sedikit seperti yang ditegaskan
dalam sebuah riwayat Ad-Dailami:
أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ الْقَلِيْلُ مِنْهُ
“Ikhlaslah
kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.
Agar
ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang
kita lakukan, seperti: adanya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan
dan kesungguhan. Maka amalan yang cenderung apa adanya, ikut sesuka hati, asal
jadi, serta amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita
dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi kita
sesungguhnya. Ikhlas inikah yang akan memperkuat potensi spritualitas kita.
Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan motivasi yang menggerakkan roda
amal kita selama ini ?
Ibnu
Dahlan El-Madary