Selasa, 11 Mei 2010

ASYIKNYA DIBELA

ASYIKNYA DIBELA

Bertahun-tahun aku bertutur
Dengan sopan dan santun dengan beliau
Beliau yang selalu membaca tulisanku
Selalu mendorongku untuk terus menulis
Sering mengatakan tulisanku bagus dan perlu
Tanpa memperdebatkan termasuk kelompok apa tulisanku
Bukan kemasannya yang beliau lihat
Tetapi apa pesan, baik tersurat maupun tersirat
Yang ada dalam tulisan tersebut

Perjalanan hidup beliau yang panjang
Telah melalui jalan berliku dan mendaki
Pernah berada disetiap lapisan sosial
Bertemu dangan berbagai ragam manusia
Yang memiliki beragam bahasa, adat dan budaya
Menjadikan beliau manusia yang Arif dan Bijaksana

Sesekali kupakai bahasa nenek moyangku
Untuk bertutur dengan beliau lewat tulisan
Apa yang terjadi?
Orang-orang yang ikut membaca tulisanku
Marah besar dan mencaci maki diriku
Bahasa yang kupakai …
Tidak pantas untuk beliau yang terhormat

Sementara beliau sendiri
Tertawa-tawa membaca tulisanku
Lebih hebatnya lagi
Aku dibela mati-matian
Mungkin beliau ingat ketika menjadi orang pasar
Sering mendengarkan kata-kata yang kupakai
Bahkan oleh pelajar sekalipun
Penggalan nyanyi wajib Minangkabau
Bukti nyata “Aden” pengganti diri resmi
Asyiknya dibela

Aku jadi teringat nasehat mamaku
“Melihatlah dengan mata hati”
Agaknya inilah yang dipakai oleh beliau
Untuk melihatku dari jauh
Walau kemasanku rada aneh dari biasa
Terasa kurang ajar bagi orang yang tak biasa
Beliau yakin, aku tetap menghormatinya

Akupun jadi bertanya-tanya
Apasih bedanya
Aku, saya, aden, ambo, gua, gue, dsb?
Bukankah semua pengganti diri?
Begitu hinakah nenek moyangku yang ber”Aden”?
Apa dikira nenek moyangku tak terpelajar?
Apa Nagariku jajahan Nagari yang lain?

Biarlah waktu yang menentukan
Kata apa yang akhirnya
Dipilih masyarakat untuk pengganti diri
Harusnya anak Nagari
Bangga dengan bahasa sendiri
Bahasa menunjukkan
Dari Nagari mana seseorang berasal

Bagi yang keberatan
Jangan heran kalau suatu saat nanti
Bahasa Minang tinggal kenangan
Karena berganti dengan bahasa Indonesia
Bukankah kecendrungan tersebut sudah terasa?
Apa ada bahasa Minang yang standar?
Kenapa tidak pernah ada Kongres Bahasa Minang?

Diantara perbedaan
Biar tidak jadi pertempuran
Bukankah lebih baik
Saling menghargai perbedaan
Seperti yang dicontohkan
Bapak Prof Suheimi
Yang tak lagi terpengaruh
Oleh pujian dan umpatan

Terima kasih Bapak Prof Suheimi
Atas pembelaannya
Aku jadi senang dan bangga
Dan berharap
Banyak orang yang belajar dari bapak
Bagaimana cara menghormati perbedaan


Bengkulu, 5 Mei 2010


Hanifah Damanhuri